Makalah Al-Islam Kemuhammadiyahan IV
Dosen : Dr. Ir. Abdullah B., M.M
MUHAMMADIYAH
SEBAGAI GERAKAN TAJDID(PEMBARUAN)
Disusun Oleh :
KELOMPOK 1
MUHAMMAD SYAFRIADI 213 170 001
UCI MELDASARI 213 170 024
HASRIANA 213 170
033
PRORGAM STUDI
AGRIBISNIS (D1)
FAKULTAS
PERTANIAN, PETERNAKAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS
MUHAMMDIYAH PAREPARE
2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepeda Allah Tuhan semesta alam
yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Dan berkat
dia jugalah sehingga makalah “ Muhammadiyah sebagai gerakan tadjid
(Pembaharuan) ini yang
merupakan salah satu tugas dari mata kuliah “Al islam
Kemuhammadiahan IV”
dapat kami selesaikan pada waktunya.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
dosen pembimbing yang telah sudi memberikan kami bimbingan dan kepada
teman-teman yang telah banyak membantu mulai dari awal penyusunan makalah ini
sampai selesai. Makalah ini kami buat agar menjadi tambahan konsep ilmu yang
teman teman miliki khususnya masalah gerakan pembaharuan muhammadiyah
terhadap pemurnian islam.
Kami sepenuhnya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
kami butuhkan untuk menjadi bahan acuan dalam penulisan makalah kami
selanjutnya Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam makalah kami ini
terdapat banyak kesalahan, atas partisipasinya kami ucapkan banyak terima kasih.Assalamu
Alaikum wr. Wb
Parepare, 13 April 2015
Penyusun,
Kelompok 1
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
Persyarikatan Muhammadiyah yang
melintasi perjalanan usia satu abad senantiasa bersinggungan dan memiliki
kaitan dengan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat manusia saat
ini, baik dalam lingkup nasional maupun global, termasuk di dalamnya dinamika
kehidupan umat Islam. Posisi Muhammadiyah dalam dinamika dan permasalahan
kehidupan nasional, global, dan dunia Islam sebagaimana digambarkan di atas dibingkai
dan ditandai dengan lima peran yang secara umum menggambarkan
misi Persyarikatan. Kelima peran tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid
terus mendorong tumbuhnya gerakan pemurnian ajaran Islam dalam masalah yang baku
(al-tsawabit) dan pengembangan pemikiran dalam masalah-masalah
ijtihadiyah yang menitikberatkan aktivitasnya pada dakwah amar makruf nahi
munkar. Muhammadiyah bertanggung jawab atas berkembangnya syiar Islam di
Indonesia, dalam bentuk:
1)
Makin dipahami dan diamalkannya ajaran
Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
2)
Kehidupan umat yang makin bermutu,
yaitu umat yang cerdas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dengan semangat
tajdid yang dimilikinya terus mendorong tumbuhnya pemikiran Islam secara sehat
dalam berbagai bidang kehidupan. Pengembangan pemikiran Islam yang berwatak
tajdid tersebut sebagai realisasi dari ikhtiar mewujudkan risalah Islam
sebagai rahmatan lil-alamin yang berguna dan fungsional bagi pemecahan
permasalahan umat, bangsa, negara, dan kemanusiaan dalam tataran peradaban
global.
Ketiga, sebagai salah satu komponen bangsa, Muhammadiyah
bertanggung jawab atas berbagai upaya untuk tercapainya cita-cita bangsa dan
Negara Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Konstitusi
Negara.
Keempat, sebagai warga Dunia Islam, Muhammadiyah bertanggung
jawab atas terwujudnya kemajuan umat Islam di segala bidang kehidupan, bebas
dari ketertinggalan, keterasingan, dan keteraniayaan dalam percaturan dan
peradaban global. Dengan peran di dunia Islam yang demikian itu
Muhammadiyah berkiprah dalam membangun peradaban dunia Islam yang semakin maju
sekaligus dapat mempengaruhi perkembangan dunia yang semakin adil,
tercerahkan, dan manusiawi.
Kelima, sebagai warga
dunia, Muhammadiyah senantiasa bertanggungjawab atas terciptanya tatanan dunia
yang adil, sejahtera, dan berperadaban tinggi sesuai dengan misi membawa pesan
Islam sebagai rahmatan lil-alamin. Peran global tersebut merupakan keniscayaan
karena di satu pihak Muhammadiyah merupakan bagian dari dunia global, di pihak
lain perkembangan dunia di tingkat global tersebut masih ditandai oleh berbagai
persoalan dan krisis yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia dan
peradabannya karena keserakahan negara-negara maju yang melakukan eksploitasi
di banyak aspek kehidupan.
Sejarah menunjukkan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dalam rentang usia satu abad telah berkhiprah optimal untuk memajukan kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia, yang memberi makna bagi kehidupan umat manusia pada umumnya. Muhammadiyah telah berjuang melalui gerakan dakwah dan tajdid dalam usaha pembinaan kehidupan beragama sejalan dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi serta melakukan usaha-usaha pembaruan kemasyarakatan melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, peran politik kebangsaan, dan sebagainya, yang merupakan perwujudan untuk membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
Sejarah menunjukkan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dalam rentang usia satu abad telah berkhiprah optimal untuk memajukan kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia, yang memberi makna bagi kehidupan umat manusia pada umumnya. Muhammadiyah telah berjuang melalui gerakan dakwah dan tajdid dalam usaha pembinaan kehidupan beragama sejalan dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi serta melakukan usaha-usaha pembaruan kemasyarakatan melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, peran politik kebangsaan, dan sebagainya, yang merupakan perwujudan untuk membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud Tajdid dalam
Muhammadiyah ?
2. Bagaimana Gerakan
pembaharuan Muhammadiyah di Era Modern ?
3. Bagaimana Perkembangan
Tajdid Muhammadiyah.
?
4. Bagaimana pengaruh tajdid ?
1.
Untuk mengetahui Tajdid dalam
Muhammadiyah.
2.
Untuk mengetahui Gerakan pembaharuan
Muhammadiyah di Era Modern.
3.
Untuk mengetahui Perkembangan Tajdid
Muhammadiyah.
4.
Untuk mengetahui pengaruh tajdid.
BAB II
PEMBAHASAN
Apa yang dimaksud dengan tajdîd dalam
Muhammadiyah dan bagaimana perkembangannya selama satu abad pertama? Kedua
persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan periodesasi dan kurun waktu yang
telah ada. Secara garis besar, perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat
dibedakan menjadi tiga pase, yakni pase aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase
rekonstruksi.
Ketika Muhammadiyah didirikan, para
tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum memikirkan landasan
konseosional dan teoritis tentang apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi
adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran
Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Konsentrasi mereka
difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu
disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di satu sisi, tapi juga
memperhatikan tradisi agama lain, khususnya kristen, yang kebetulan disebarkan
oleh penjajah negeri iniAdapun rumusan tajdîd yang resmi dari Muhammadiyah itu
adalah sebagai berikut:
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti, yakni:
Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti, yakni:
a. pemurnian;
b. peningkatan, pengembangan,
modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid
dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan
bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam arti “peningkatan,
pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan
sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap
berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
Untuk melaksanakan tajdid dalam
kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang
cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam.
Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari
ajaran Islam.
Rumusan tajdîd di atas mengisyaratkan,
bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus
yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran Islam, al-Qur'an
dan Hadits, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad
dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali al-Qur'an
dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini.
Secara garis besar, kecenderungan untuk
memahami ajaran dasar Islam dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar,
pertama kelompok salafi dan kedua kelompok ‘ashrani. Kelompok pertama biasa
disebut sebagian pengamat sebagai kelompok fundamentalis, sedangkan Kelompok
yang terakhir dapat disamakan dengan kelompok Islam Liberalis Kemudian,
berdasarkan pembagian itu, para ahli dan pengamat keislaman mengklasifikasikan
aliran pemikiran di kalangan umat Islam menjadi tiga kelompok, yakni
fundamentalis, liberalis dan moderat.
1.
Fundamentalis
Istilah Fundamentalis yang dihubungkan
dengan penganut ajaran Islam garis keras, sering kita dengar dari sumber
informasi Negara barat. Hal itu terasa lebih popular ketika telah terjadinya
serangan 11 september di New York. Rizizq Shihab, semakin memperkuat dugaan,
bahwa Islam atau muslim fundamentalis itu identik dengan muslim yang mempunyai
faham “garis keras” itu. Apakah memang benar demikian? Tentu persepsi seperti
itu perlu ditelusuri kebenarannya.
Dalam tradisi kajian Islam, istilah
lain dari fundamentalis adala salfiy. Kelompok salafi, dari segi bahasa berarti
kelompok yang berorientasi kepada masa lampau atau orang-orang yang terdahulu.
Tentu, kita sebagai umat Islam harus
memberikan apresiasi terhadap sikap mereka yang konsisten atau istiqamah dalam
menjalankan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun dalam waktu yang
sama kita juga harus memperhatikan dan mencermati sumber ajaran Islam dengan
menggunakan penalaran dan analisis yangt idak bertentangan dengan misi
Al-Qur’an sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semua umat manusia, di mana
pun dan kapan pun mereka berada
2.
Liberalis
Istilah Islam Liberal merupakan salah
satu wacana dialektis Islam dalam konteks menghadapi kemoderrnan. Wacana ini
menjadi penting dan menonjol akhir-akhir ini, ketika dunia Islam terkepung oleh
peradaban dan sains modern yang datang dari barat. Kemunculan Islam liberal
berbeda secara kontras dengan Islam fundamentalis yang menekankan pada tradisi
salaf. Dalam faham liberal, faham fundamentalis hanya akan membawa
keterbelakangan yang akan membawa dunia islam menikmati buah modernitas, berupa
kemajuan ekonomi, demokrasi, hak asasi manusia.
Lebih dari itu, faham ini meyakini
bahwa apabila Islam difahami dengan pendekatan liberal akan menjadi perintis
jalan bagi liberalisme di dunia barat.
Dalam memahami sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, kelompok ini berusaha untuk menangkap ajaran moral dan bukan aturan-aturan normatif yang terkandung di dalamnya. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan norma hukum tidak harus difahami apa adanya, melainkan harus dibawa kepada konteks manusia modern.
Dalam memahami sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, kelompok ini berusaha untuk menangkap ajaran moral dan bukan aturan-aturan normatif yang terkandung di dalamnya. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan norma hukum tidak harus difahami apa adanya, melainkan harus dibawa kepada konteks manusia modern.
3.
Moderat
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa kecenderungan pemahaman umat Islam terhadap
Al-Qur’an dan Al-Sunnah dibedakan menjadi muslim liberal di satu sisi dan
muslim fundamentalis di sisi yang lain. Diantara kedua aliran dan kecenderungan
ini ada kelompok umat Islam yang memahami kedua sumber itu secara moderat
Artinya, tidak terlalu bebas, seperti kelompok Islam liberal dan tidak juga
kaku, seperti kelompok Islam fundamentalis.
Kelompok ini melihat persoalan yang muncul saat ini sebagai sebuah keniscayaan, karena sumber ajaran Islam yang utama, Al-Qur’an dan Al-Sunnah , turun dalam situasi yang berbeda dengan apa yang ada saat ini. Diakui, bahwa kedua sumber itu mempunyai ajaran yang bersifat permanent dan konstan,, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Ajaran yang masuk kategori ini umumnya menyangkut masalah akidah (keimanan) dan ibadah ritual (ibadah mahdlah).
Kelompok ini melihat persoalan yang muncul saat ini sebagai sebuah keniscayaan, karena sumber ajaran Islam yang utama, Al-Qur’an dan Al-Sunnah , turun dalam situasi yang berbeda dengan apa yang ada saat ini. Diakui, bahwa kedua sumber itu mempunyai ajaran yang bersifat permanent dan konstan,, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Ajaran yang masuk kategori ini umumnya menyangkut masalah akidah (keimanan) dan ibadah ritual (ibadah mahdlah).
Tajdid adalah amal
Islami yang disyariatkan dalam koridor pengertiannya yang benar, namun tidak
semua yang mengaku melakukan tajdid dikatakan mujaddid, karena
harus memiliki syarat-syarat mujaddid. Demikian juga usaha tajdid
hanya diakui bila sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar yang telah
digariskan para ulama, di antaranya:
- Seorang mujaddid harus dari Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bebas dari kebid'ahan dan berjalan di atas manhaj Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam seluruh urusannya. Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan ahlu bid'ah dan tokoh sekte sesat sebagai mujaddid, walaupun telah mencapai ketinggian derajat dalam ilmu.
Seorang ulama besar India bernama
Syaikh Syamsul Haq al-'Azhimabadi rahimahullah (wafat tahun 1858 M)
menyatakan, “Sungguh aneh yang dilakukan penulis kitab Jami' al-Ushul
dengan memasukkan Abu Ja'far al-Imami asy-Syi'i dan al-Murtadha termasuk
mujaddid”. Lalu beliau lanjutkan, “Sangat jelas bahwa memasukkan kedua
orang ini ke dalam kelompok mujaddid adalah kesalahan besar dan jelas;
karena ulama Syi'ah walaupun mencapai martabat mujtahid dan ketinggian
dalam martabat ilmu serta masyhur sekali, namun mereka tidak pantas menjadi
mujaddid. Bagaimana mereka pantas, mereka sendiri merusak agama, lalu
bagaimana melakukan pembaharuan (tajdid)? Mereka mematikan sunnah,
bagaimana dikatakan menghidupkannya? Mereka menebar kebid'ahan, lalu bagaimana
dikatakan menghapus kebid'ahan? Mereka ini sebenarnya orang-orang sesat yang
menghancurkan agama lagi bodoh. Mayoritas karya mereka adalah tahrif,
penyimpangan dan ta'wil, bukan tajdid dalam agama dan tidak juga
menghidupkan yang telah hilang dari pengamalan al-Qur`an dan sunnah.” (Aunul
Ma'bud, 4/180).
- Memiliki sumber pengambilan ilmu dan manhaj istidlal (metodologi pengambilan dalil) yang benar. Hal ini dilihat kepada metodologi dalam belajar dan pengambilan dalil yang dibangun di atas al-Qur`an, sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ijma', qiyas yang shahih (benar) dan tinjauan maslahat yang tidak bertentangan dengan nash syariat.
- Memiliki ilmu syar'i yang benar, hal ini karena di antara aktivitas tajdid adalah mengajarkan agama, menebarkan ilmu syar'i dan membela sunnah dan ahlinya, serta menghancurkan kebid'ahan.
Seorang mujaddid harus seorang
alim yang pakar dalam agama, dai yang cerdas yang mampu menjelaskan al-Qur`an
dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam yang shahih kepada
manusia. Juga jauh dari kebid'ahan dan memperingatkan manusia dari
perkara-perkara yang diadakan dalam Islam, serta mengembalikan mereka dari
penyimpangan kepada jalan yang lurus yaitu kepada al-Qur`an dan sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam (Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah,
2/169).
- Mampu menempatkan dengan pas dan tepat nash-nash syariat pada realita dan peristiwa yang terjadi.
- Memiliki manhaj (metodologi) dan kaidahnya yang jelas. Seorang mujaddid harus menyertai dalam aktivitas tajdid-nya dengan manhaj dan kaidah yang jelas dalam segala keadaannya. Sebab, mujaddid menisbatkan dirinya kepada Islam. Ini adalah nisbat ilmu dan ittiba', bukan sekadar pengakuan dan klaim. Dari sini, maka kebenaran nisbatnya tersebut dibangun di atas kaidah memahami Islam berdasarkan manhaj tidak benar memahami Islam kecuali dengannya. Inti metodologi ini ada pada empat bidang:
- Ushul lughah Arabiyah
- Ushul at-tafsir
- Ushul as-sunnah
- Ushul al-fiqh
Sehingga, tidaklah menjadi mujaddid
orang yang mengenal segala sesuatu kecuali Islam atau yang mengetahi Islam
dengan selain manhaj ini.
Di samping memiliki ilmu syar'i yang
benar dan kejelasan manhaj, juga harus dihiasi dengan akhlak yang mulia
dan memiliki kecintaan dan kasih sayang kepada manusia. Juga berusaha untuk
merealisaikan kemaslahatan dan semangat menyelesaikan permasalahannya serta
zuhud dan qana'ah dengan yang ada.
Mengamalkan ilmunya, komitmen terhadap
perintah dan larangan syariat dan menjaga semua kewajiban dan perkara sunnah,
serta menjadi suri teladan yang baik untuk orang lain. Ini semua adalah sifat
para ulama yang masuk dalam pengertian Ahlus sunnah wal Jama'ah. Tidak
dipungkiri lagi, mujaddid termasuk thaifah manshurah yang dijelaskan
dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
Ù„َÙ†ْ ÙŠَزَالَ
Ù‚َÙˆْÙ…ٌ Ù…ِÙ†ْ Ø£ُÙ…َّتِÙ‰ ظَاهِرِينَ عَÙ„َÙ‰ النَّاسِ ØَتَّÙ‰ ÙŠَØ£ْتِÙŠَÙ‡ُÙ…ْ Ø£َÙ…ْرُ
اللَّÙ‡ِ ÙˆَÙ‡ُÙ…ْ ظَاهِرُونَ
“Akan senantiasa ada kaum dari umatku yang muncul atas
manusia, hingga datang kepada mereka hari Kiamat dan mereka dalam keadaan
menang.” (HR. al-Bukhari).
Sangat antusias dalam menjaga
ushuluddin dan cabangnya dan tidak meremehkan satu perkara agamapun.
Seorang mujaddid memiliki keinginan adanya perubahan
nyata pada umat, sehingga ia menggerakkan umat ini dari realita yang buruk dan
menyimpang menuju jalan perbaikan dan kesuksesan dunia dan akhirat.
Menjadi imam dalam agama dan memiliki sifat sabar dan yakin
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
ÙˆَالَّØ°ِينَ ÙŠَÙ‚ُولُونَ رَبَّÙ†َا Ù‡َبْ
Ù„َÙ†َا Ù…ِÙ†ْ Ø£َزْÙˆَاجِÙ†َا ÙˆَØ°ُرِّÙŠَّاتِÙ†َا Ù‚ُرَّØ©َ Ø£َعْÙŠُÙ†ٍ ÙˆَاجْعَÙ„ْÙ†َا
Ù„ِÙ„ْÙ…ُتَّÙ‚ِينَ Ø¥ِÙ…َامًا
“Dan
orang orang yang berkata, 'Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada Kami
isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan
Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. al-Furqan: 74).
Dan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
ÙˆَجَعَÙ„ْÙ†َا Ù…ِÙ†ْÙ‡ُÙ…ْ Ø£َئِÙ…َّØ©ً
ÙŠَÙ‡ْدُونَ بِØ£َÙ…ْرِÙ†َا Ù„َÙ…َّا صَبَرُوا ÙˆَÙƒَانُوا بِئَايَاتِÙ†َا ÙŠُوقِÙ†ُونَ
“Dan
Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat
Kami.” (Qs. as-Sajdah: 24).
Membedakan antara perkara tsawabit (yang tidak berubah)
dengan al-mutaghayyirat (yang bisa berubah).
Ushul aqidah, rukun-rukun Islam dan nash-nash syariat semuanya adalah tsawaabit
tidak mungkin berubah atau hukumnya berganti. Yang dimaksud tajdid di sini
adalah menghidupkan kembali pemahaman yang benar dan menghilangkan semua
syubhat dan kerancuan seputar itu yang ada dalam akal manusia, serta
mengembalikan hal ini untuk menjadi hukum bagi manusia.
Sedangkan peristiwa yang baru, maka ia tunduk kepada nash-nash
syariat untuk dihukumi dan tidak sebaliknya sebagaimana pengakuan para pengagum
pembaharuan Islam yang ada.
Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan bahwa apabila ada nash
dalam al-Quran atau sunnah yang shahih tentang satu perkara atas satu hukum
tertentu, maka ia adalah benar tidak ada pengaruhnya perubahan waktu dan
tempat, serta keadaan. Semua yang telah ditetapkan, maka ia akan tetap berlaku
selamanya dalam segala zaman, tempat dan keadaan, hingga datang nash syariat
yang memalingkannya dari hukum tersebut di waktu, tempat atau keadaan lainnya (Al-Ihkam
Fi Ushuul al-Ahkam, 5/774). Demikianlah hal ini, karena hukum-hukum syariat
ada dua jenis:
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh nash-nash asli yang
gamblang. Jenis ini akan diberlakukan sepanjang zaman disemua tempat dan tidak
mengalami perubahan.
Hukum-hukum yang ditetapkan melalui ijtihad yang
bersumber kepada qiyas atau adat atau maslahat yang tidak ada nash
syariatnya atau juga adat yang hukum syariat tidak dibangun di atasnya.
Inilah
yang dijelaskan Imam asy-Syathibi rahimahullah dalam ungkapan beliau:
Norma-norma
yang berlaku ada dua:
Norma-norma agama (al-'awa`id asy-syar'iyah)
ditetapkan dalil syar'i atau ditolak dalam pengertian syariat
memeritahkan hal tersebut secara wajib atau sunnah, melarangnya secara makruh
atau haram atau mengizinkannya untuk diwujudkan dan ditinggalkan.Hukum-hukum
yang berlaku di antara manusia yang tidak ada dalil syar'i yang menolak
dan menetapkannya.
Yang pertama ini diberlakukan selamanya… Sedangkan kedua
norma-norma tersebut kadang diberlakukan secara tetap dan kadang berubah (Al-Muwafaqat
Fi Ushul asy-Syari'at, 2/283-284).
Mujaddid
munculnya setiap permulaan abad. Kemunculan ini tidak dilihat kepada kelahiran
atau kematiannya, namun melihat kepada keahlian dan munculnya ia menjadi ulama.
Imam al-Munawi rahimahullah menyatakan, “Aaa satu hal
yang penting yang harus diperhatikan, yaitu semua yang berbicara tentang hadits
(Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ ÙŠَبْعَØ«ُ Ù„ِÙ‡َØ°ِÙ‡ِ
الْØ£ُÙ…َّØ©ِ عَÙ„َÙ‰ رَØ£ْسِ ÙƒُÙ„ِّ Ù…ِائَØ©ِ سَÙ†َØ©ٍ Ù…َÙ†ْ ÙŠُجَدِّدُ Ù„َÙ‡َا دِينَÙ‡َا)
hanya menetapkan berdasarkan pengertian diutus setiap awal
abad dengan kematiannya di awal abad tersebut. Padahal, Anda pasti tahu yang
dapat dicerna langsung dari hadits ini adalah al-ba'tsu (pengutusan) dan
irsaal (kemunculan) ada di awal abad... Pengertian kemunculan seorang alim
adalah kemampuannya untuk maju ke depan memberikan manfaat kepada orang dan
majunya ia dalam menyebarkan hukum-hukum syariat. Kematian seorang alim di awal
abad adalah diambil bukan diutus.
Demikianlah ketentuan dasar penting dalam penentuan
tajdid dan mujaddid yang disampaikan para ulama, semoga memberikan
wacana dan pencerahan dalam masalah ini.
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang
menekankan amar makruf nahi mungkar telah berkiprah dalam rentang waktu satu
abad. Dengan masa sepanjang itu, Muhammadiyah sudah melewati berbagai tahapan
atau periodisasi zaman di Indonesia. Dari mulai zaman penjajahan (1912-1945),
zaman kemerdekaan (1945-1950), zaman Orde Lama (1950-1966), zaman Orde Baru
(1966-1998), dan zaman Reformasi (1998-sekarang).
Masa-masa tersebut dilalui Muhammadiyah
dengan sangat dinamis. Jika pada awal berdiri, Muhammadiyah hanya fokus pada
persoalan pemurnian agama, karena realitas masyarakat yang banyak melakukan
taklid, bidah, dan khufarat. Maka, di zaman penjajahan juga terdapat pandangan
perlwanan terhadap penjajah. Sementara pada masa awal kemerdekaan, banyak di
antara tokoh Muhammadiyah yang berperan dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa
ini.
Di saat Orde Lama berkuasa,
Muhammadiyah secara perlahan mulai ikut terlibat dalam kegiatan politik
praktis. Terseretnya Muhammadiyah pada politik praktis karena Muhammadiyah
menjadi anggota istimewa dalam Partai Masyumi. Sementara di bawah kekuasaan
Orde Baru, kiprah Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan berjalan
statis.
Hal ini disebabkan kuatnya
tekanan pemerintahan rezim Orde Baru yang mampu ‘mengebiri’ gerakan-gerakan
organisasi masyarakat (ormas), termasuk Muhammadiyah.saat Orde Baru tumbang
pada 1998, Muhammadiyah mengambil peran yang amat vital. Gerakan reformasi yang
digagas oleh sejumlah elemen masyarakat, telah memunculkan figur Muhammadiyah,
Amien Rais, sebagai aktor reformasi.
Namun, di era reformasi yang
mengusung kebebasan berpendapat, masih banyak kalangan menilai ide-ide dan
suara Muhammadiyah justru tidak tampak di permukaan.
Gerakan pembaruan dilakukan karena terjadinya krisis akidah, kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam pemikiran.Gerakan pembaruan yang diusung oleh Muhammadiyah tidak terlepas dari ide, gagasan, dan pemikiran sejumlah tokoh ternama yang menjadi pelopor gerakan kebangkitan Islam. Mereka antara lain Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridla.
Gerakan pembaruan dilakukan karena terjadinya krisis akidah, kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam pemikiran.Gerakan pembaruan yang diusung oleh Muhammadiyah tidak terlepas dari ide, gagasan, dan pemikiran sejumlah tokoh ternama yang menjadi pelopor gerakan kebangkitan Islam. Mereka antara lain Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridla.
1.
Tokoh-tokoh
Pelopor Gerakan Kebangkitan Islam
a.
Ibnu Taimiyah
Dalam tulisannya yang berjudul
“Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam”, Haedar Nashir memaparkan bahwa
jatuhnya Kota Baghdad ke tangan pasukan Mongol pada 1258 telah menimbulkan dua
kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan yang
bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah dan moral umat kala itu, yang
banyak penyimpangan dari kemurnian Islam.
Kedua, kejatuhan politik Islam,
sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut kemudian umat
Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral, lemah secara politik,
dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan.Gerakan pemurnian yang diusung
Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan
ajaran salafiyah, tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad.
Keras dalam ajaran akidah, tetapi
terbuka pada ijtihad. Karenanya, dalam perkembangan berikutnya, gerakan
pemurnian tersebut menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi
pada bagaimana membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan
kejumudan.
b.
Muhammad bin Abdul Wahhab
Pembaruan yang dipelopori Ibnu Taimiyah
memperoleh dukungan kuat dan dilanjutkan oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Djauziah
(1292-1350 M), terutama dengan tekanan pada pemurniannya. Bahkan, tiga abad
setelah itu digelorakan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M) di
jazirah Arabia dengan corak dan warna pemurnian yang lebih keras.
Munculnya gerakan Wahabiyah ini tidak
terlepas dari kondisi umat Islam di wilayah jazirah Arab saat itu yang
mengalami kemunduran di bidang akidah dengan maraknya berbagai praktik yang
dianggap telah muncul sifat-sifat kemusyrikan, bidah, dan takhayul. Hal ini
sebagai akibat dari semakin jauhnya spirit Islam dari sumbernya yang asli.
Selain itu juga karena pengaruh dari praktik-praktik keagamaan lama yang
bangkit kembali. Berbeda dengan para pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab
lebih menekankan pada pemurnian yang lebih praktis dan cenderung keras.
c.
Jamaluddin Al-Afghani
Pada periode selanjutnya, gerakan
pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh sentuhan politik yang kuat dan
meluas melalui tokoh pembaru lainnya, Jamaluddin Al-Afghani (1838-1797 M). Ia
merupakan sosok pembaru yang memiliki karakter kuat dan dinamis. Al-Afghani
hijrah dari satu negara ke negara lain, dan di setiap wilayah yang
dikunjunginya selalu menimbulkan keguncangan politik. Antara lain di
Afghanistan, India, Mesir, Turki, Makkah, Inggris, dan Prancis.
d.
Muhammad Rasyid Ridla
Di Mesir, selain Muhammad Abduh muncul Muhammad Rasyid Ridla (1856-1935 M),
murid dan kawan Abduh yang meneruskan gagasan-gagasannya. Perjumpaan dengan
Al-Afghani dan Abduh, membuatnya menyerap pikiran-pikiran pembaruan.Tetapi,
berbeda dengan Abduh, Ridla lebih terbatas dalam memberi ruang pada akal dan
masih terikat kuat pada pemikiran Ibnu Hanbal, Ibnu Taimiyyah, dan Muhammad bin
Abdul Wahhab. Ridla tidak sebagaimana Abduh juga lebih terbatas dalam menerima
pemikiran Barat, kendati mengakui pentingnya kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi modern sebagaimana negeri-negeri Barat. Sikap lebih keras terhadap
Barat tampak pada pemikiran Ridla.
1.
Pilar Gerak Langkah Pembaharuan
Muhammadiyah.
Saat ini, Muhammadiyah telah memasuki
usia satu abad. Sebuah perjalanan yang cukup panjang. Namun, organisasi yang
didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 ini, telah mampu melintasi berbagai
zaman yang ada di Indonesia. Mulai zaman perintis kemerdekaan (1912-1945),
zaman kemerdekaan (1945-1950), zaman Orde Lama (1950-1966), Orde Baru
(1966-1998), hingga Orde Reformasi (1998-sekarang).Selama rentang waktu itu,
banyak kontribusi yang telah diberikan Muhammadiyah bagi bangsa Indonesia.
Mulai dari pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan sosial, dan lain
sebagainya.
Kini, Muhammadiyah mengembangkan satu
konsep pembaruan baru sebagai kelanjutan dari tauhid sosial yang menjadi pilar
pergerakan ormas Islam tersebut, yakni Fikih Al-Maun.
Muhammadiyah adalah organisasi modern yang senantiasa melakukan pembaruan (tajdid). Bagaimana konsep tajdid Muhammadiyah itu?Muhammadiyah memiliki sejumlah lembaga (majelis) dalam menjalankan tugasnya untuk senantiasa beramar makruf nahi mungkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran). Salah satu lembaganya bernama Majelis Tarjih dan Tajdid.
Muhammadiyah adalah organisasi modern yang senantiasa melakukan pembaruan (tajdid). Bagaimana konsep tajdid Muhammadiyah itu?Muhammadiyah memiliki sejumlah lembaga (majelis) dalam menjalankan tugasnya untuk senantiasa beramar makruf nahi mungkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran). Salah satu lembaganya bernama Majelis Tarjih dan Tajdid.
Tarjih adalah pengamalan hukum-hukum
agama sebagaimana tertulis dalam Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Tarjih
bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi. Sedangkan, tajdid adalah
reform atau pembaruan. Keduanya (tarjih dan tajdid), ibarat dua sisi mata uang
yang saling membutuhkan dan tak mungkin dipisahkan.Jika dilihat secara umum,
tarjih lebih bersifat masa lampau, sedangkan tajdid untuk masa depan. Tajdid
selalu berbicara prospektif. Jadi, pemurnian dan pembaruan, menjadi ciri khas
gerakan Muhammadiyah. Organisasi ini akan diukur berdasarkan pada kedua
benchmarks tersebut. Itulah konsep Kiai Ahmad Dahlan dalam meletakkan landasan
dan fondasi Muhammadiyah, yang harus dilaksanakan penerusnya saat ini.
2.
Contoh Konkret dari Gerakan Pembaruan
yang dilakukan Muhammadiyah
Ada tiga hal yang menjadi fondasi utama gerak langkah
Muhammadiyah, yakni bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial.
Ketiga hal ini dijalankan oleh Kiai Ahmad Dahlan yang sangat jauh “menyimpang”
dari mainstream saat itu. Mengapa demikian? Karena kondisi masyarakat Indonesia
yang terjajah, tertindas, terbelakang, miskin, dan selalu dibodohi oleh para
penjajah. Maka, untuk memperbaiki semua itu, harus ada keberanian dalam melakukan
perubahan secara menyeluruh.Misalnya, dalam pendidikan. Pola yang dikembangkan
Muhammadiyah berusaha untuk mengadopsi pendidikan Barat yang berbeda dengan
paham masyarakat Indonesia saat itu.
Kemudian dalam bidang kesehatan, beliau
berusaha mendorong didirikannya balai pengobatan untuk rakyat miskin. Sebab,
waktu itu banyak masyarakat Indonesia dengan kondisi ekonomi yang sangat
tertinggal, sangat kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, kecuali mereka yang
berasal dari kalangan bangsawan.
Dalam bidang kesejahteraan sosial, beliau membentuk
lembaga amil zakat, lembaga peduli umat, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah
untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan
lain sebagainya.
Ini semua tak lepas dari pengalaman
yang didapatkan Kiai Ahmad Dahlan saat menempuh pendidikan di Tanah Suci. Di
sana, beliau mendapatkan gagasan pemikiran dari para tokoh pembaru Islam,
seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad
Abduh, serta Rasyid Ridla. Mereka semua dikenal sebagai pelopor gerakan
pembaruan Islam.
kondisi masyarakat saat itu yang mulai
jauh dari nilai-nilai Islam. Cara ibadah mereka mulai bercampur dengan
kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan lain sebagainya. Kemudian dalam hal
pemikiran, umat Islam saat itu cenderung telah mengalami stagnasi pemikiran.
Pola pikir yang dikedepankan cenderung taklid (mengikuti saja) tanpa mau
mencari dasarnya. Bahkan, mulai muncul kekhawatiran di masyarakat karena adanya
fatwa yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Bagi tokoh pembaru
seperti Abduh, Al-Afghani, dan Ibnu Taimiyah, hal ini dapat menyebabkan taklid
buta dan pemikiran umat Islam pun menjadi jumud (stagnan). Gerakan
pembaruan akan terus dilakukan dan tak akan pernah berhenti. Bisa saja, pembaruan
yang dilakukan hari ini, tapi karena satu hal, sehingga besok sudah tidak bisa
dilakukan lagi. Maka, pembaruan akan terus berlangsung. Begitulah seterusnya
3.
Makna Pentingnya Pembaharuan Dilakukan
Muhammadiyah
Muhammadiyah selalu melakukan gerakan
pembaruan. Muhammadiyah tanpa pembaruan, ibarat makan sayur tanpa garam, maka
rasanya hambar. Muhammadiyah harus selalu menjadi pelopor. Sebagai pelopor,
Muhammadiyah tidak boleh kehilangan kepeloporannya.
Karena itu, pembaruan menjadi
kebutuhan mutlak bagi warga pergerakan Muhammadiyah. Jadi, pembaruan akan
selalu terjadi dan terus berkembang.Dan, pembaruan itu akan terjadi dalam semua
bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan harus
dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal syahadah.
Majelis Tarjih dan Tajdid itu berkutat melayani persoalan-persoalan yang muncul khususnya masalah keagamaan internal Muhammadiyah. Sehingga warga Muhammadiyah mendapatkan pedoman dan jawaban dalam masalah sosial keagamaan. Tidak hanya masalah fikih tapi juga akidah, akhlak, dan masalah-masalah yang lain
Majelis Tarjih dan Tajdid itu berkutat melayani persoalan-persoalan yang muncul khususnya masalah keagamaan internal Muhammadiyah. Sehingga warga Muhammadiyah mendapatkan pedoman dan jawaban dalam masalah sosial keagamaan. Tidak hanya masalah fikih tapi juga akidah, akhlak, dan masalah-masalah yang lain
Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan
Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan dengan melakukan
gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai
latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di Indonesia, dan
sejak itulah Muhammadiyah adalah satu-satunya yang berani mengadakan
pembaharuan Islam yang kuat dan tangguh. di asia tenggara.
Dengan beratus-ratus cabang di seluruh
kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri,
Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di
Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni,
Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang
kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah
piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah
sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan
keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya,
mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata
Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara
terbesar kelima di dunia.”
Kelahiran Muhammadiyah secara teologis
memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid, namun
secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam
dan masyarakat Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui
Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan
berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat
Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam
tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber
ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga
menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan
menuju pada dunia kemajuan.
Fenomena baru yang juga tampak menonjol
dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam yang murni dan
berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah
sistem organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan
terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional
yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren
dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi
jelas merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif
telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat, instrumen) untuk
mewujudkan cita-cita Islam.
Mem-format gerakan Islam melalui
organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga bukan semata-mata teknis
tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang selama ini melekat dalam alam
pikiran para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ
wâjib”, bahwa jika suatu urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka
alat itu menjadi wajib adanya. Lebih mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah
sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh rujukan
teologis sebagaimana tercermin dalam pemaknaan /penafsiran Surat Ali Imran ayat
ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk mengajak kepada
Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar”. Ayat
Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai ”ayat” Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an
Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai
ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid
semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidup.
Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh
lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam
dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba
kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala
kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi,
yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di
Indonesia.Diantara
pengaruh pergerakan pembaharuan Muhammadiyah dalam Islam, diwujudkan dalam
bentuk amal usaha Persyarikatan Muhammadiyah, yang meliputi:
1.
Bidang
Keagamaan.
Muhammadiyah dalam pergerakan
pembaharuan Islam, mempunyai andil cukup besar dibidang keagamaan. Seperti:
a)
Majlis Tabligh Muhammadiyah senantiasa menekankan
agar tegaknya Islam yang benar sesuai yang dicontohkan nabi Muhammad SAW, ,
tidak dirusak oleh berbagai macam bid’ah, khurafat, dan tahayul yang dapat
mengkikis nilai-nilai Islam itu sendiri.
b)
Majlis Tarjih, suatu lembaga yang
menghimpun ulama-ulamak Muhammadiyah dari berbagai disiplin ilmu, yang selalu
bermusyawarah dan memberikan fatwa terhadap hal-hal yang acktual
ditengah-tengah masyarakat. Seperti tuntunan hidup keluarga sejahtera, dan
memberikan tuntunan untuk dipedomani dibidang ubudiyah, mu’amalah dan persoalan
yang menyangkut kemasyarakatan lainnya.
c)
Terbentuknya Departemen Agama, tidak
terlepas dari kepeloporan Pimpinan Muhammadiyah, dan Menteri Agama Pertama kali
dari Kalangan Pimpinan Muhammadiyah Yakni. Prof. Dr. H.M. Rosyidi. Dan sekarang
bangsa Indonesia menikmatinya.
2.
Bidang
Pendidikan
Salah satu sebab Muhammadiyah didirikan
karena lembaga pendidikan di Indonesia sudah tidak memenuhi kebutuhan dan
tuntutan zaman, tidak saja isi dan metode pengajarannya yang tidak sesuai,
bahkan sitem pendidikannya harus dirombak secara mendasar. Sehingga tidak ada
pemisahan antara pelajaran umum dengan pelajaran agama. Dan baru saja tokoh
besar Muhammadiyah Prof. Dr. Amin Rais, Tokoh Muhammadiyah yang memberikan
sumbangsih besar terhadap lahirnya Undang-undang tentang Guru dan Dosen. Tidak
itu saja terdapat ribuan Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ada diseluruh
pelaosok tanah air, sejak dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi.
3.
Bidang
Kemasyarakatan
Bidang Kemasyarakatan, sumbangsih dan
pengaruhnya cukup besar bagi negara Indonesia yang nota bone mayoritas beragama
Islam, yakni dengan banyak berdiri Rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan
peralatan canggih dan tenaga ahli serta apoteknya. Mendirikan panti asuhan
yatim, panti jompo, pondok pesantren, mendirikan perusahaan, percetakan buku,
majalah, dll
4.
Bidang Politik
Kenegaraan
Muhammadiyah menentang penjajahan,
penjajah kolonial belanda, jepang hengkang dari Nagara republik Indonesia,
tidak terlepas dari perjuangan Tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti Jenderal Besar
Sudirman, Ir. Soekarno (presiden RI pertama) dan masih banyak lagi, dan
Muhammadiyah bukan organisasi politik, namun tidak buta politik, ahli-ahli atau
tokoh-tokoh politik Muhammadiyah yang menyebar di semua Partai Politik sebatas
hanyalah penyampai aspirasi rakyat amar ma’ruf nahi mungkar.
BAB III
PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas dapat
difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat
berarti. Pada pase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru pada tataran praktis
dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi
terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam pada saat itu. Tema
sentral tajdid pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian pada pase kedua sudah
mulai terlihat pentingnya menyelesaikan masalah yang sama sekali baru yang
dihadapi umat Islam. Pada pase ini mulai dibahas bahkan dirumuskan tajdid dalam
arti modernisasi dan dinamisasi.
Rumusan dan konsep tajdid diarahkan
pada upaya untuk merspon perubahan masyarakat yang berkaitan dengan al-umur
al-dunyawiyyah. Pada pase ini tidak lagi berkutat pada pemurnian aqidah dan
masalah-masalah khilafiyah dalam fikih, tetapi lebih diarahkan pada ijtihad
insya’i. Sedangkan pada pase terakhir, tema tajdid dalam Muhammadiyah tidak
terbatas pada masalah purifikasi dan dinamisasi, tetapi menuju rekonstruksi dan
bahkan dalam batas tertentu melakukan dekonstruksi terhadap ajaran normatif,
menuju ajaran islam yang bersifat historis.sama kuatnya dengan kecenderungan
liberalis.
Demikian makalah yang kami susun mengenai
muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, kami menyadari dalam penulisan makalah ini
masih terdapat banyak kekurangan olehnya itu kritik dan saran dari pembaca
maupun dosen pembimbing sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Syafi'i Ma'arif, dalam bukunya
Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos
Publishing House, Jakarta, 1995, hal xi.
Amien Rais, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis
Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995, hal vii.
Lebih lanjut dapat dibaca dalam pengantar buku Dinamika Pemikiran Islam dan
Muhammadiyah, diterbitkan oleh Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, (editor; Nurhadi M. Musawir), 1996.
Amin Abdullah, Pembaharuan
Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83.
April 1998.
Amin
Abdullah, (2000), Op Cit, hal. 150.
Kuntowijoyo,
(1998), Loc Cit., hal. 268. Ibid, hal. 289.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan,
Bandung, 1998, hal. 268.
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam
Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000,
hal. 147.
Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah
Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga
Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000, hal.55-58.
Shihab, Alwi, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap
Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hal. 125. Ibid.,
hal. 126.
Taufik Adnan Amal, Islam dan
Tantangan Modernitas; studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan,
Bandung, 1996, hal. 16. Penjelasan lebih lanjut, bisa dibaca dalam kata
pengantarnya Jalaluddin Rahmad pada buku tersebut.
Tobroni, dan Syamsul Arifin, Islam
Pluralisme Budaya dan Politik,; Refleksi Teologi untuk Aksi Dalam Keberagamaan
dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994, hal. 175.
sya/muhammadiyah.or.id Sumber : Islam
Digest , Republika, Ahad, 4 Juli 2010
. • ed; heri ruslan
Sumber : Dialog Jumat,
Republika, Jumat, 2 Juli 2010
http://fkmbbulukumba.blogspot.com/2012/07/makalah-gerakan-tajdid-muhammadiyah.html
https://saharullahhukumumk.wordpress.com/2013/05/22/kemuhammadiyahan/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar