SELAMAT DATANG DIBLOGKU

SELAMAT DATANG DIBLOGKU
SEMOGA BERMANFAAT

Sabtu, 18 April 2015

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN TAJDID(PEMBARUAN)

Makalah Al-Islam Kemuhammadiyahan IV
Dosen : Dr. Ir. Abdullah B., M.M

MUHAMMADIYAH SEBAGAI GERAKAN TAJDID(PEMBARUAN)









Disusun Oleh :
KELOMPOK 1
MUHAMMAD SYAFRIADI                       213 170 001
UCI MELDASARI                            213 170 024
HASRIANA                                       213 170 033   


PRORGAM STUDI AGRIBISNIS (D1)
FAKULTAS PERTANIAN, PETERNAKAN DAN PERIKANAN
UNIVERSITAS MUHAMMDIYAH PAREPARE
2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepeda Allah Tuhan semesta alam yang senantiasa melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua. Dan berkat dia jugalah sehingga makalah  “ Muhammadiyah sebagai gerakan tadjid (Pembaharuan) ini yang merupakan salah satu tugas dari mata kuliah “Al islam Kemuhammadiahan IV” dapat kami selesaikan pada waktunya.
Selanjutnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dosen pembimbing yang telah sudi memberikan kami bimbingan dan kepada teman-teman yang telah banyak membantu mulai dari awal penyusunan makalah ini sampai selesai. Makalah ini kami buat agar menjadi tambahan konsep ilmu yang teman teman miliki khususnya masalah gerakan pembaharuan muhammadiyah terhadap pemurnian islam.
Kami sepenuhnya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami butuhkan untuk menjadi bahan acuan dalam penulisan makalah kami selanjutnya Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya jika dalam makalah kami ini terdapat banyak kesalahan, atas partisipasinya kami ucapkan banyak terima kasih.Assalamu Alaikum wr. Wb

Parepare, 13 April 2015
Penyusun,
Kelompok 1


DAFTAR ISI




BAB I

PENDAHULUAN
Persyarikatan Muhammadiyah yang melintasi perjalanan usia satu abad senantiasa bersinggungan dan memiliki kaitan dengan berbagai permasalahan yang sedang dihadapi oleh umat manusia saat ini, baik dalam lingkup nasional maupun global, termasuk di dalamnya dinamika kehidupan umat Islam. Posisi Muhammadiyah dalam dinamika dan permasalahan kehidupan nasional, global, dan dunia Islam sebagaimana digambarkan di atas dibingkai dan ditandai dengan lima peran yang secara umum menggambarkan misi Persyarikatan. Kelima peran tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid terus mendorong tumbuhnya gerakan pemurnian ajaran Islam dalam masalah yang baku (al-tsawabit) dan pengembangan pemikiran dalam masalah-masalah ijtihadiyah yang menitikberatkan aktivitasnya pada dakwah amar makruf nahi munkar. Muhammadiyah bertanggung jawab atas berkembangnya syiar Islam di Indonesia, dalam bentuk:
1)      Makin dipahami dan diamalkannya ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,
2)      Kehidupan umat yang makin bermutu, yaitu umat yang cerdas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Kedua, Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dengan semangat tajdid yang dimilikinya terus mendorong tumbuhnya pemikiran Islam secara sehat dalam berbagai bidang kehidupan. Pengembangan pemikiran Islam yang berwatak tajdid tersebut sebagai realisasi dari ikhtiar mewujudkan risalah Islam sebagai rahmatan lil-alamin yang berguna dan fungsional bagi pemecahan permasalahan umat, bangsa, negara, dan kemanusiaan dalam tataran peradaban global.
Ketiga, sebagai salah satu komponen bangsa, Muhammadiyah bertanggung jawab atas berbagai upaya untuk tercapainya cita-cita bangsa dan Negara Indonesia, sebagaimana dituangkan dalam Pembukaan Konstitusi Negara. 
Keempat, sebagai warga Dunia Islam, Muhammadiyah bertanggung jawab atas terwujudnya kemajuan umat Islam di segala bidang kehidupan, bebas dari ketertinggalan, keterasingan, dan keteraniayaan dalam percaturan dan peradaban global. Dengan peran di dunia Islam yang demikian itu Muhammadiyah berkiprah dalam membangun peradaban dunia Islam yang semakin maju sekaligus dapat mempengaruhi perkembangan dunia yang semakin adil, tercerahkan, dan manusiawi.
Kelima, sebagai warga dunia, Muhammadiyah senantiasa bertanggungjawab atas terciptanya tatanan dunia yang adil, sejahtera, dan berperadaban tinggi sesuai dengan misi membawa pesan Islam sebagai rahmatan lil-alamin. Peran global tersebut merupakan keniscayaan karena di satu pihak Muhammadiyah merupakan bagian dari dunia global, di pihak lain perkembangan dunia di tingkat global tersebut masih ditandai oleh berbagai persoalan dan krisis yang mengancam kelangsungan hidup umat manusia dan peradabannya karena keserakahan negara-negara maju yang melakukan eksploitasi di banyak aspek kehidupan.
            Sejarah menunjukkan bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan Islam dalam rentang usia satu abad telah berkhiprah optimal untuk memajukan kehidupan umat Islam dan bangsa Indonesia, yang memberi makna bagi kehidupan umat manusia pada umumnya. Muhammadiyah telah berjuang melalui gerakan dakwah dan tajdid dalam usaha pembinaan kehidupan beragama sejalan dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi serta melakukan usaha-usaha pembaruan kemasyarakatan melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan sosial, pemberdayaan masyarakat, peran politik kebangsaan, dan sebagainya, yang merupakan perwujudan untuk membentuk masyarakat Islam yang sebenar-benarnya dan menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam.
1.      Apa yang dimaksud Tajdid dalam Muhammadiyah ?
2.      Bagaimana Gerakan pembaharuan Muhammadiyah di Era Modern ?
3.      Bagaimana Perkembangan Tajdid Muhammadiyah. ?
4.      Bagaimana pengaruh tajdid ?
1.      Untuk mengetahui Tajdid dalam Muhammadiyah.
2.      Untuk mengetahui Gerakan pembaharuan Muhammadiyah di Era Modern.
3.      Untuk mengetahui Perkembangan Tajdid Muhammadiyah.
4.      Untuk mengetahui pengaruh tajdid.





BAB II

PEMBAHASAN
Apa yang dimaksud dengan tajdîd dalam Muhammadiyah dan bagaimana perkembangannya selama satu abad pertama? Kedua persoalan ini perlu dianalisis berdasarkan periodesasi dan kurun waktu yang telah ada. Secara garis besar, perkembangan tajdid dalam Muhammadiyah dapat dibedakan menjadi tiga pase, yakni pase aksi-reaksi, konsepsionalisasi dan pase rekonstruksi.
Ketika Muhammadiyah didirikan, para tokoh Muhammadiyah, termasuk K.H. Ahmad Dahlan, belum memikirkan landasan konseosional dan teoritis tentang apa yang akan dilakukannya. Yang terjadi adalah, upaya mereka untuk secara praktis dan pragmatis menyebarkan ajaran Islam yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah. Konsentrasi mereka difokuskan pada bagaimana praktek keagamaan yang dilakukan masyarakat waktu itu disesuaikan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah di satu sisi, tapi juga memperhatikan tradisi agama lain, khususnya kristen, yang kebetulan disebarkan oleh penjajah negeri iniAdapun rumusan tajdîd yang resmi dari Muhammadiyah itu adalah sebagai berikut:
            Dari segi bahasa, tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah, tajdîd memiliki dua arti, yakni:
a. pemurnian;
b. peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya.
Dalam arti “pemurnian” tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan dan bersumber kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shohihah. Dalam arti “peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya”, tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran, pengamalan, dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada al-Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah.
 Untuk melaksanakan tajdid dalam kedua pengertian istilah tersebut, diperlukan aktualisasi akal pikiran yang cerdas dan fitri, serta akal budi yang bersih, yang dijiwai oleh ajaran Islam. Menurut Persyarikatan Muhammadiyah, tajdid merupakan salah satu watak dari ajaran Islam.
Rumusan tajdîd di atas mengisyaratkan, bahwa dalam Muhammadiyah ijtihad dapat dilakukan terhadap peristiwa atau kasus yang tidak terdapat secara eksplisit dalam sumber utama ajaran Islam, al-Qur'an dan Hadits, dan terhadap kasus yang terdapat dalam kedua sumber itu. Ijtihad dalam bentuknya yang kedua dilakukan dengan cara menafsirkan kembali al-Qur'an dan Hadits sesuai dengan kondisi masyarakat sekarang ini.

Secara garis besar, kecenderungan untuk memahami ajaran dasar Islam dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar, pertama kelompok salafi dan kedua kelompok ‘ashrani. Kelompok pertama biasa disebut sebagian pengamat sebagai kelompok fundamentalis, sedangkan Kelompok yang terakhir dapat disamakan dengan kelompok Islam Liberalis Kemudian, berdasarkan pembagian itu, para ahli dan pengamat keislaman mengklasifikasikan aliran pemikiran di kalangan umat Islam menjadi tiga kelompok, yakni fundamentalis, liberalis dan moderat.
1.      Fundamentalis
Istilah Fundamentalis yang dihubungkan dengan penganut ajaran Islam garis keras, sering kita dengar dari sumber informasi Negara barat. Hal itu terasa lebih popular ketika telah terjadinya serangan 11 september di New York. Rizizq Shihab, semakin memperkuat dugaan, bahwa Islam atau muslim fundamentalis itu identik dengan muslim yang mempunyai faham “garis keras” itu. Apakah memang benar demikian? Tentu persepsi seperti itu perlu ditelusuri kebenarannya.
Dalam tradisi kajian Islam, istilah lain dari fundamentalis adala salfiy. Kelompok salafi, dari segi bahasa berarti kelompok yang berorientasi kepada masa lampau atau orang-orang yang terdahulu.
Tentu, kita sebagai umat Islam harus memberikan apresiasi terhadap sikap mereka yang konsisten atau istiqamah dalam menjalankan apa yang tertulis dalam Al-Qur’an dan Hadis. Namun dalam waktu yang sama kita juga harus memperhatikan dan mencermati sumber ajaran Islam dengan menggunakan penalaran dan analisis yangt idak bertentangan dengan misi Al-Qur’an sebagai agama yang menjadi rahmat bagi semua umat manusia, di mana pun dan kapan pun mereka berada
2.      Liberalis
Istilah Islam Liberal merupakan salah satu wacana dialektis Islam dalam konteks menghadapi kemoderrnan. Wacana ini menjadi penting dan menonjol akhir-akhir ini, ketika dunia Islam terkepung oleh peradaban dan sains modern yang datang dari barat. Kemunculan Islam liberal berbeda secara kontras dengan Islam fundamentalis yang menekankan pada tradisi salaf. Dalam faham liberal, faham fundamentalis hanya akan membawa keterbelakangan yang akan membawa dunia islam menikmati buah modernitas, berupa kemajuan ekonomi, demokrasi, hak asasi manusia.

Lebih dari itu, faham ini meyakini bahwa apabila Islam difahami dengan pendekatan liberal akan menjadi perintis jalan bagi liberalisme di dunia barat.
Dalam memahami sumber ajaran islam, Al-Qur’an dan Al-Sunnah, kelompok ini berusaha untuk menangkap ajaran moral dan bukan aturan-aturan normatif yang terkandung di dalamnya. Karena itu, ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan norma hukum tidak harus difahami apa adanya, melainkan harus dibawa kepada konteks manusia modern.
3.       Moderat
            Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa kecenderungan pemahaman umat Islam terhadap Al-Qur’an dan Al-Sunnah dibedakan menjadi muslim liberal di satu sisi dan muslim fundamentalis di sisi yang lain. Diantara kedua aliran dan kecenderungan ini ada kelompok umat Islam yang memahami kedua sumber itu secara moderat Artinya, tidak terlalu bebas, seperti kelompok Islam liberal dan tidak juga kaku, seperti kelompok Islam fundamentalis.
            Kelompok ini melihat persoalan yang muncul saat ini sebagai sebuah keniscayaan, karena sumber ajaran Islam yang utama, Al-Qur’an dan Al-Sunnah , turun dalam situasi yang berbeda dengan apa yang ada saat ini. Diakui, bahwa kedua sumber itu mempunyai ajaran yang bersifat permanent dan konstan,, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Ajaran yang masuk kategori ini umumnya menyangkut masalah akidah (keimanan) dan ibadah ritual (ibadah mahdlah).

Tajdid adalah amal Islami yang disyariatkan dalam koridor pengertiannya yang benar, namun tidak semua yang mengaku melakukan tajdid dikatakan mujaddid, karena harus memiliki syarat-syarat mujaddid.  Demikian juga usaha tajdid hanya diakui bila sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar yang telah digariskan para ulama, di antaranya:
  • Seorang mujaddid  harus dari Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bebas dari kebid'ahan dan berjalan di atas manhaj Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam seluruh urusannya. Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan ahlu bid'ah dan tokoh sekte sesat sebagai mujaddid, walaupun telah mencapai ketinggian derajat dalam ilmu.
Seorang ulama besar India bernama Syaikh Syamsul Haq al-'Azhimabadi rahimahullah (wafat tahun 1858 M) menyatakan, “Sungguh aneh yang dilakukan penulis kitab Jami' al-Ushul dengan memasukkan Abu Ja'far al-Imami asy-Syi'i dan al-Murtadha termasuk mujaddid”. Lalu beliau lanjutkan, “Sangat jelas bahwa memasukkan kedua orang ini ke dalam kelompok mujaddid adalah kesalahan besar dan jelas; karena ulama Syi'ah walaupun mencapai martabat mujtahid dan ketinggian dalam martabat ilmu serta masyhur sekali, namun mereka tidak pantas menjadi mujaddid. Bagaimana mereka pantas, mereka sendiri merusak agama,  lalu bagaimana melakukan pembaharuan (tajdid)?  Mereka mematikan sunnah, bagaimana dikatakan menghidupkannya? Mereka menebar kebid'ahan, lalu bagaimana dikatakan menghapus kebid'ahan? Mereka ini sebenarnya orang-orang sesat yang menghancurkan agama lagi bodoh. Mayoritas karya mereka adalah tahrif, penyimpangan dan ta'wil, bukan tajdid dalam agama dan tidak juga menghidupkan yang telah hilang dari pengamalan al-Qur`an dan sunnah.” (Aunul Ma'bud, 4/180).
  • Memiliki sumber pengambilan ilmu dan manhaj istidlal (metodologi pengambilan dalil) yang benar. Hal ini dilihat kepada metodologi dalam belajar dan pengambilan dalil yang dibangun di atas al-Qur`an, sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ijma', qiyas yang shahih (benar) dan tinjauan maslahat yang tidak bertentangan dengan nash syariat.
  • Memiliki ilmu syar'i yang benar, hal ini karena di antara aktivitas tajdid adalah mengajarkan agama, menebarkan ilmu syar'i dan membela sunnah dan ahlinya, serta menghancurkan kebid'ahan.
Seorang mujaddid harus seorang alim yang pakar dalam agama, dai yang cerdas yang mampu menjelaskan al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam yang shahih kepada manusia. Juga jauh dari kebid'ahan dan memperingatkan manusia dari perkara-perkara yang diadakan dalam Islam, serta mengembalikan mereka dari penyimpangan kepada jalan yang lurus yaitu kepada al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam (Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah, 2/169).
  • Mampu menempatkan dengan pas dan tepat nash-nash syariat pada realita dan peristiwa yang terjadi.
  • Memiliki manhaj (metodologi) dan kaidahnya yang jelas. Seorang mujaddid harus menyertai dalam aktivitas tajdid-nya dengan manhaj dan kaidah yang jelas dalam segala keadaannya. Sebab, mujaddid menisbatkan dirinya kepada Islam. Ini adalah nisbat ilmu dan ittiba', bukan sekadar pengakuan dan klaim. Dari sini, maka kebenaran nisbatnya tersebut dibangun di atas kaidah memahami Islam berdasarkan manhaj tidak benar memahami Islam kecuali dengannya. Inti metodologi ini ada pada empat bidang:
  1. Ushul lughah Arabiyah
  2. Ushul at-tafsir
  3. Ushul as-sunnah
  4. Ushul al-fiqh
Sehingga, tidaklah menjadi mujaddid orang yang mengenal segala sesuatu kecuali Islam atau yang mengetahi Islam dengan selain manhaj ini.
Di samping memiliki ilmu syar'i yang benar dan kejelasan manhaj, juga harus dihiasi dengan akhlak yang mulia dan memiliki kecintaan dan kasih sayang kepada manusia. Juga berusaha untuk merealisaikan kemaslahatan dan semangat menyelesaikan permasalahannya serta zuhud dan qana'ah dengan yang ada.
Mengamalkan ilmunya, komitmen terhadap perintah dan larangan syariat dan menjaga semua kewajiban dan perkara sunnah, serta menjadi suri teladan yang baik untuk orang lain. Ini semua adalah sifat para ulama yang masuk dalam pengertian Ahlus sunnah wal Jama'ah. Tidak dipungkiri lagi, mujaddid termasuk thaifah manshurah yang dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
Ù„َÙ†ْ ÙŠَزَالَ Ù‚َÙˆْÙ…ٌ Ù…ِÙ†ْ Ø£ُÙ…َّتِÙ‰ ظَاهِرِينَ عَÙ„َÙ‰ النَّاسِ Ø­َتَّÙ‰ ÙŠَØ£ْتِÙŠَÙ‡ُÙ…ْ Ø£َÙ…ْرُ اللَّÙ‡ِ ÙˆَÙ‡ُÙ…ْ ظَاهِرُونَ
Akan senantiasa ada kaum dari umatku yang muncul atas manusia, hingga datang kepada mereka hari Kiamat dan mereka dalam keadaan menang.” (HR. al-Bukhari).
Sangat antusias dalam menjaga ushuluddin dan cabangnya dan tidak meremehkan satu perkara agamapun.
Seorang mujaddid memiliki keinginan adanya perubahan nyata pada umat, sehingga ia menggerakkan umat ini dari realita yang buruk dan menyimpang menuju jalan perbaikan dan kesuksesan dunia dan akhirat.
Menjadi imam dalam agama dan memiliki sifat sabar dan yakin sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
ÙˆَالَّØ°ِينَ ÙŠَÙ‚ُولُونَ رَبَّÙ†َا Ù‡َبْ Ù„َÙ†َا Ù…ِÙ†ْ Ø£َزْÙˆَاجِÙ†َا ÙˆَØ°ُرِّÙŠَّاتِÙ†َا Ù‚ُرَّØ©َ Ø£َعْÙŠُÙ†ٍ ÙˆَاجْعَÙ„ْÙ†َا Ù„ِÙ„ْÙ…ُتَّÙ‚ِينَ Ø¥ِÙ…َامًا
Dan orang orang yang berkata, 'Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. al-Furqan: 74).
Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
ÙˆَجَعَÙ„ْÙ†َا Ù…ِÙ†ْÙ‡ُÙ…ْ Ø£َئِÙ…َّØ©ً ÙŠَÙ‡ْدُونَ بِØ£َÙ…ْرِÙ†َا Ù„َÙ…َّا صَبَرُوا ÙˆَÙƒَانُوا بِئَايَاتِÙ†َا ÙŠُوقِÙ†ُونَ
Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (Qs. as-Sajdah: 24).
Membedakan antara perkara tsawabit (yang tidak berubah) dengan al-mutaghayyirat (yang bisa berubah).
Ushul aqidah, rukun-rukun Islam dan nash-nash syariat semuanya adalah tsawaabit tidak mungkin berubah atau hukumnya berganti. Yang dimaksud tajdid di sini adalah menghidupkan kembali pemahaman yang benar dan menghilangkan semua syubhat dan kerancuan seputar itu yang ada dalam akal manusia, serta mengembalikan hal ini untuk menjadi hukum bagi manusia.
Sedangkan peristiwa yang baru, maka ia tunduk kepada nash-nash syariat untuk dihukumi dan tidak sebaliknya sebagaimana pengakuan para pengagum pembaharuan Islam yang ada.
Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan bahwa apabila ada nash dalam al-Quran atau sunnah yang shahih tentang satu perkara atas satu hukum tertentu, maka ia adalah benar tidak ada pengaruhnya perubahan waktu dan tempat, serta keadaan. Semua yang telah ditetapkan, maka ia akan tetap berlaku selamanya dalam segala zaman, tempat dan keadaan, hingga datang nash syariat yang memalingkannya dari hukum tersebut di waktu, tempat atau keadaan lainnya (Al-Ihkam Fi Ushuul al-Ahkam, 5/774). Demikianlah hal ini, karena hukum-hukum syariat ada dua jenis:
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh nash-nash asli yang gamblang. Jenis ini akan diberlakukan sepanjang zaman disemua tempat dan tidak mengalami perubahan.
Hukum-hukum yang ditetapkan melalui ijtihad yang bersumber kepada qiyas atau adat atau maslahat yang tidak ada nash syariatnya atau juga adat yang hukum syariat tidak dibangun di atasnya.
Inilah yang dijelaskan Imam asy-Syathibi rahimahullah dalam ungkapan beliau:
Norma-norma yang berlaku ada dua:
Norma-norma agama (al-'awa`id  asy-syar'iyah) ditetapkan dalil syar'i atau ditolak dalam pengertian syariat memeritahkan hal tersebut secara wajib atau sunnah, melarangnya secara makruh atau haram atau mengizinkannya untuk diwujudkan dan ditinggalkan.Hukum-hukum yang berlaku di antara manusia yang tidak ada dalil syar'i yang menolak dan menetapkannya.
Yang pertama ini diberlakukan selamanya… Sedangkan kedua norma-norma tersebut kadang diberlakukan secara tetap dan kadang berubah (Al-Muwafaqat Fi Ushul asy-Syari'at, 2/283-284).
Mujaddid munculnya setiap permulaan abad. Kemunculan ini tidak dilihat kepada kelahiran atau kematiannya, namun melihat kepada keahlian dan munculnya ia menjadi ulama.
Imam al-Munawi rahimahullah menyatakan, “Aaa satu hal yang penting yang harus diperhatikan, yaitu semua yang berbicara tentang hadits
(Ø¥ِÙ†َّ اللَّÙ‡َ ÙŠَبْعَØ«ُ Ù„ِÙ‡َØ°ِÙ‡ِ الْØ£ُÙ…َّØ©ِ عَÙ„َÙ‰ رَØ£ْسِ ÙƒُÙ„ِّ Ù…ِائَØ©ِ سَÙ†َØ©ٍ Ù…َÙ†ْ ÙŠُجَدِّدُ Ù„َÙ‡َا دِينَÙ‡َا)

hanya menetapkan berdasarkan pengertian diutus setiap awal abad dengan kematiannya di awal abad tersebut. Padahal, Anda pasti tahu yang dapat dicerna langsung dari hadits ini adalah al-ba'tsu  (pengutusan) dan irsaal (kemunculan) ada di awal abad... Pengertian kemunculan seorang alim adalah kemampuannya untuk maju ke depan memberikan manfaat kepada orang dan majunya ia dalam menyebarkan hukum-hukum syariat. Kematian seorang alim di awal abad adalah diambil bukan diutus.
Demikianlah ketentuan dasar penting dalam penentuan tajdid dan mujaddid yang disampaikan para ulama, semoga memberikan wacana dan pencerahan dalam masalah ini.

Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang menekankan amar makruf nahi mungkar telah berkiprah dalam rentang waktu satu abad. Dengan masa sepanjang itu, Muhammadiyah sudah melewati berbagai tahapan atau periodisasi zaman di Indonesia. Dari mulai zaman penjajahan (1912-1945), zaman kemerdekaan (1945-1950), zaman Orde Lama (1950-1966), zaman Orde Baru (1966-1998), dan zaman Reformasi (1998-sekarang).
Masa-masa tersebut dilalui Muhammadiyah dengan sangat dinamis. Jika pada awal berdiri, Muhammadiyah hanya fokus pada persoalan pemurnian agama, karena realitas masyarakat yang banyak melakukan taklid, bidah, dan khufarat. Maka, di zaman penjajahan juga terdapat pandangan perlwanan terhadap penjajah. Sementara pada masa awal kemerdekaan, banyak di antara tokoh Muhammadiyah yang berperan dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa ini.
Di saat Orde Lama berkuasa, Muhammadiyah secara perlahan mulai ikut terlibat dalam kegiatan politik praktis. Terseretnya Muhammadiyah pada politik praktis karena Muhammadiyah menjadi anggota istimewa dalam Partai Masyumi. Sementara di bawah kekuasaan Orde Baru, kiprah Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan sosial keagamaan berjalan statis.
 Hal ini disebabkan kuatnya tekanan pemerintahan rezim Orde Baru yang mampu ‘mengebiri’ gerakan-gerakan organisasi masyarakat (ormas), termasuk Muhammadiyah.saat Orde Baru tumbang pada 1998, Muhammadiyah mengambil peran yang amat vital. Gerakan reformasi yang digagas oleh sejumlah elemen masyarakat, telah memunculkan figur Muhammadiyah, Amien Rais, sebagai aktor reformasi.
 Namun, di era reformasi yang mengusung kebebasan berpendapat, masih banyak kalangan menilai ide-ide dan suara Muhammadiyah justru tidak tampak di permukaan.
Gerakan pembaruan dilakukan karena terjadinya krisis akidah, kemerosotan moral, kelemahan politik dan ekonomi, serta jumud dalam pemikiran.Gerakan pembaruan yang diusung oleh Muhammadiyah tidak terlepas dari ide, gagasan, dan pemikiran sejumlah tokoh ternama yang menjadi pelopor gerakan kebangkitan Islam. Mereka antara lain Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Abdil Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridla.
1.        Tokoh-tokoh Pelopor Gerakan Kebangkitan Islam
a.      Ibnu Taimiyah
Dalam tulisannya yang berjudul “Muhammadiyah dan Matarantai Pembaruan Islam”, Haedar Nashir memaparkan bahwa jatuhnya Kota Baghdad ke tangan pasukan Mongol pada 1258 telah menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah dan moral umat kala itu, yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam.
Kedua, kejatuhan politik Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral, lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan.Gerakan pemurnian yang diusung Ibnu Taimiyah saat itu sejalan dengan pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal, yang menghidupkan ajaran salafiyah, tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad.
 Keras dalam ajaran akidah, tetapi terbuka pada ijtihad. Karenanya, dalam perkembangan berikutnya, gerakan pemurnian tersebut menjadi bersenyawa dengan spirit ijtihad dan berorientasi pada bagaimana membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dan kejumudan.
b.      Muhammad bin Abdul Wahhab
Pembaruan yang dipelopori Ibnu Taimiyah memperoleh dukungan kuat dan dilanjutkan oleh muridnya, Ibnu Qayyim al-Djauziah (1292-1350 M), terutama dengan tekanan pada pemurniannya. Bahkan, tiga abad setelah itu digelorakan kembali oleh Muhammad bin Abdul Wahhab (1703-1787 M) di jazirah Arabia dengan corak dan warna pemurnian yang lebih keras.
Munculnya gerakan Wahabiyah ini tidak terlepas dari kondisi umat Islam di wilayah jazirah Arab saat itu yang mengalami kemunduran di bidang akidah dengan maraknya berbagai praktik yang dianggap telah muncul sifat-sifat kemusyrikan, bidah, dan takhayul. Hal ini sebagai akibat dari semakin jauhnya spirit Islam dari sumbernya yang asli. Selain itu juga karena pengaruh dari praktik-praktik keagamaan lama yang bangkit kembali. Berbeda dengan para pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab lebih menekankan pada pemurnian yang lebih praktis dan cenderung keras.
c.       Jamaluddin Al-Afghani
 Pada periode selanjutnya, gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh sentuhan politik yang kuat dan meluas melalui tokoh pembaru lainnya, Jamaluddin Al-Afghani (1838-1797 M). Ia merupakan sosok pembaru yang memiliki karakter kuat dan dinamis. Al-Afghani hijrah dari satu negara ke negara lain, dan di setiap wilayah yang dikunjunginya selalu menimbulkan keguncangan politik. Antara lain di Afghanistan, India, Mesir, Turki, Makkah, Inggris, dan Prancis.
d.      Muhammad Rasyid Ridla
              Di Mesir, selain Muhammad Abduh muncul Muhammad Rasyid Ridla (1856-1935 M), murid dan kawan Abduh yang meneruskan gagasan-gagasannya. Perjumpaan dengan Al-Afghani dan Abduh, membuatnya menyerap pikiran-pikiran pembaruan.Tetapi, berbeda dengan Abduh, Ridla lebih terbatas dalam memberi ruang pada akal dan masih terikat kuat pada pemikiran Ibnu Hanbal, Ibnu Taimiyyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab. Ridla tidak sebagaimana Abduh juga lebih terbatas dalam menerima pemikiran Barat, kendati mengakui pentingnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern sebagaimana negeri-negeri Barat. Sikap lebih keras terhadap Barat tampak pada pemikiran Ridla.

1.      Pilar Gerak Langkah Pembaharuan Muhammadiyah.
Saat ini, Muhammadiyah telah memasuki usia satu abad. Sebuah perjalanan yang cukup panjang. Namun, organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada 1912 ini, telah mampu melintasi berbagai zaman yang ada di Indonesia. Mulai zaman perintis kemerdekaan (1912-1945), zaman kemerdekaan (1945-1950), zaman Orde Lama (1950-1966), Orde Baru (1966-1998), hingga Orde Reformasi (1998-sekarang).Selama rentang waktu itu, banyak kontribusi yang telah diberikan Muhammadiyah bagi bangsa Indonesia. Mulai dari pendidikan, kesehatan, peningkatan kesejahteraan sosial, dan lain sebagainya.
Kini, Muhammadiyah mengembangkan satu konsep pembaruan baru sebagai kelanjutan dari tauhid sosial yang menjadi pilar pergerakan ormas Islam tersebut, yakni Fikih Al-Maun.
            Muhammadiyah adalah organisasi modern yang senantiasa melakukan pembaruan (tajdid). Bagaimana konsep tajdid Muhammadiyah itu?Muhammadiyah memiliki sejumlah lembaga (majelis) dalam menjalankan tugasnya untuk senantiasa beramar makruf nahi mungkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran). Salah satu lembaganya bernama Majelis Tarjih dan Tajdid.
Tarjih adalah pengamalan hukum-hukum agama sebagaimana tertulis dalam Alquran dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Tarjih bergerak dalam bidang pemurnian atau purifikasi. Sedangkan, tajdid adalah reform atau pembaruan. Keduanya (tarjih dan tajdid), ibarat dua sisi mata uang yang saling membutuhkan dan tak mungkin dipisahkan.Jika dilihat secara umum, tarjih lebih bersifat masa lampau, sedangkan tajdid untuk masa depan. Tajdid selalu berbicara prospektif. Jadi, pemurnian dan pembaruan, menjadi ciri khas gerakan Muhammadiyah. Organisasi ini akan diukur berdasarkan pada kedua benchmarks tersebut. Itulah konsep Kiai Ahmad Dahlan dalam meletakkan landasan dan fondasi Muhammadiyah, yang harus dilaksanakan penerusnya saat ini.
2.      Contoh Konkret dari Gerakan Pembaruan yang dilakukan Muhammadiyah
Ada tiga hal yang menjadi fondasi utama gerak langkah Muhammadiyah, yakni bidang pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial. Ketiga hal ini dijalankan oleh Kiai Ahmad Dahlan yang sangat jauh “menyimpang” dari mainstream saat itu. Mengapa demikian? Karena kondisi masyarakat Indonesia yang terjajah, tertindas, terbelakang, miskin, dan selalu dibodohi oleh para penjajah. Maka, untuk memperbaiki semua itu, harus ada keberanian dalam melakukan perubahan secara menyeluruh.Misalnya, dalam pendidikan. Pola yang dikembangkan Muhammadiyah berusaha untuk mengadopsi pendidikan Barat yang berbeda dengan paham masyarakat Indonesia saat itu.
Kemudian dalam bidang kesehatan, beliau berusaha mendorong didirikannya balai pengobatan untuk rakyat miskin. Sebab, waktu itu banyak masyarakat Indonesia dengan kondisi ekonomi yang sangat tertinggal, sangat kesulitan mendapatkan layanan kesehatan, kecuali mereka yang berasal dari kalangan bangsawan.
Dalam bidang kesejahteraan sosial, beliau membentuk lembaga amil zakat, lembaga peduli umat, dan lain sebagainya. Tujuannya adalah untuk membebaskan masyarakat dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan, dan lain sebagainya.
Ini semua tak lepas dari pengalaman yang didapatkan Kiai Ahmad Dahlan saat menempuh pendidikan di Tanah Suci. Di sana, beliau mendapatkan gagasan pemikiran dari para tokoh pembaru Islam, seperti Ibnu Taimiyah, Muhammad Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, serta Rasyid Ridla. Mereka semua dikenal sebagai pelopor gerakan pembaruan Islam.
kondisi masyarakat saat itu yang mulai jauh dari nilai-nilai Islam. Cara ibadah mereka mulai bercampur dengan kemusyrikan, takhayul, bid’ah, dan lain sebagainya. Kemudian dalam hal pemikiran, umat Islam saat itu cenderung telah mengalami stagnasi pemikiran. Pola pikir yang dikedepankan cenderung taklid (mengikuti saja) tanpa mau mencari dasarnya. Bahkan, mulai muncul kekhawatiran di masyarakat karena adanya fatwa yang menyatakan bahwa pintu ijtihad telah tertutup. Bagi tokoh pembaru seperti Abduh, Al-Afghani, dan Ibnu Taimiyah, hal ini dapat menyebabkan taklid buta dan pemikiran umat Islam pun menjadi jumud (stagnan).  Gerakan pembaruan akan terus dilakukan dan tak akan pernah berhenti. Bisa saja, pembaruan yang dilakukan hari ini, tapi karena satu hal, sehingga besok sudah tidak bisa dilakukan lagi. Maka, pembaruan akan terus berlangsung. Begitulah seterusnya
3.      Makna Pentingnya Pembaharuan Dilakukan Muhammadiyah
Muhammadiyah selalu melakukan gerakan pembaruan. Muhammadiyah tanpa pembaruan, ibarat makan sayur tanpa garam, maka rasanya hambar. Muhammadiyah harus selalu menjadi pelopor. Sebagai pelopor, Muhammadiyah tidak boleh kehilangan kepeloporannya.
 Karena itu, pembaruan menjadi kebutuhan mutlak bagi warga pergerakan Muhammadiyah. Jadi, pembaruan akan selalu terjadi dan terus berkembang.Dan, pembaruan itu akan terjadi dalam semua bidang, tidak hanya terbatas pada bidang sosial. Semuanya yang dilakukan harus dijalankan dengan tindakan nyata. Itulah yang namanya amal syahadah.
             Majelis Tarjih dan Tajdid itu  berkutat melayani persoalan-persoalan yang muncul khususnya masalah keagamaan internal Muhammadiyah. Sehingga warga Muhammadiyah mendapatkan pedoman dan jawaban dalam masalah sosial keagamaan. Tidak hanya masalah fikih tapi juga akidah, akhlak, dan masalah-masalah yang lain

Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyah yang didirikannya terpanggil untuk mengubah keadaan dengan melakukan gerakan pembaruan. Untuk memberikan gambaran lebih lengkap mengenai latarbelakang dan dampak dari kelahiran gerakan Muhammadiyah di Indonesia, dan sejak itulah Muhammadiyah adalah satu-satunya yang berani mengadakan pembaharuan Islam yang kuat dan tangguh. di asia tenggara.
Dengan beratus-ratus cabang di seluruh kepulauan dan berjuta-juta anggota yang tersebar di seluruh negeri, Muhammadiyah memang merupakan pergerakan Islam yang terkuat yang pernah ada di Asia Tenggara. Sebagai pergerakan yang memajukan ajaran Islam yang murni, Muhammadiyah juga telah memberikan sumbangan yang besar di bidang kemasyarakatan dan pendidikan. Klinik-klinik perawatan kesehatan, rumah-rumah piatu, panti asuhan, di samping beberapa ribu sekolah menjadikan Muhammadiyah sebagai lembaga non-Kristen dalam bidang kemasyarakatan, pendidikan dan keagamaan swasta yang utama di Indonesia. ‘Aisyiah, organisasi wanitanya, mungkin merupakan pergerakan wanita Islam yang terbesar di dunia. Pendek kata Muhammadiyah merupakan suatu organisasi yang utama dan terkuat di negara terbesar kelima di dunia.”
Kelahiran Muhammadiyah secara teologis memang melekat dan memiliki inspirasi pada Islam yang bersifat tajdid, namun secara sosiologis sekaligus memiliki konteks dengan keadaan hidup umat Islam dan masyarakat Indonesia yang berada dalam keterbelakangan. Kyai Dahlan melalui Muhammadiyah sungguh telah memelopori kehadiran Islam yang otentik (murni) dan berorientasi pada kemajuan dalam pembaruannya, yang mengarahkan hidup umat Islam untuk beragama secara benar dan melahirkan rahmat bagi kehidupan. Islam tidak hanya ditampilkan secara otentik dengan jalan kembali kepada sumber ajaran yang aseli yakni Al-Qur‘an dan Sunnah Nabi yang sahih, tetapi juga menjadi kekuatan untuk mengubah kehidupan manusia dari serba ketertinggalan menuju pada dunia kemajuan.
Fenomena baru yang juga tampak menonjol dari kehadiran Muhammadiyah ialah, bahwa gerakan Islam yang murni dan berkemajuan itu dihadirkan bukan lewat jalur perorangan, tetapi melalui sebuah sistem organisasi. Menghadirkan gerakan Islam melalui organisasi merupakan terobosan waktu itu, ketika umat Islam masih dibingkai oleh kultur tradisional yang lebih mengandalkan kelompok-kelompok lokal seperti lembaga pesantren dengan peran kyai yang sangat dominan selaku pemimpin informal. Organisasi jelas merupakan fenomena modern abad ke-20, yang secara cerdas dan adaptif telah diambil oleh Kyai Dahlan sebagai “washilah” (alat, instrumen) untuk mewujudkan cita-cita Islam.
Mem-format gerakan Islam melalui organisasi dalam konteks kelahiran Muhammadiyah, juga bukan semata-mata teknis tetapi juga didasarkan pada rujukan keagmaan yang selama ini melekat dalam alam pikiran para ulama mengenai qaidah “mâ lâ yatimm al-wâjib illâ bihi fa huwâ wâjib”, bahwa jika suatu urusan tidak akan sempurna manakala tanpa alat, maka alat itu menjadi wajib adanya. Lebih mendasar lagi, kelahiran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam melalui sistem organisasi, juga memperoleh rujukan teologis sebagaimana tercermin dalam pemaknaan /penafsiran Surat Ali Imran ayat ke-104, yang memerintahkan adanya “sekelompok orang untuk mengajak kepada Islam, menyuruh pada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar”. Ayat Al-Qur‘an tersebut di kemudian hari bahkan dikenal sebagai ”ayat” Muhammadiyah.
Muhammadiyah dengan inspirasi Al-Qur‘an Surat Ali Imran 104 tersebut ingin menghadirkan Islam bukan sekadar sebagai ajaran “transendensi” yang mengajak pada kesadaran iman dalam bingkai tauhid semata. Bukan sekadar Islam yang murni, tetapi tidak hirau terhadap kehidup. Apalagi Islam yang murni itu sekadar dipahami secara parsial. Namun, lebih jauh lagi Islam ditampilkan sebagai kekuatan dinamis untuk transformasi sosial dalam dunia nyata kemanusiaan melalui gerakan “humanisasi” (mengajak pada serba kebaikan) dan “emanisipasi” atau “liberasi” (pembebasan dari segala kemunkaran), sehingga Islam diaktualisasikan sebagai agama Langit yang Membumi, yang menandai terbitnya fajar baru Reformisme atau Modernisme Islam di Indonesia.Diantara pengaruh pergerakan pembaharuan Muhammadiyah dalam Islam, diwujudkan dalam bentuk amal usaha Persyarikatan Muhammadiyah, yang meliputi:
1.            Bidang Keagamaan.
Muhammadiyah dalam pergerakan pembaharuan Islam, mempunyai andil cukup besar dibidang keagamaan. Seperti:
a)      Majlis Tabligh Muhammadiyah senantiasa menekankan agar tegaknya Islam yang benar sesuai yang dicontohkan nabi Muhammad SAW, , tidak dirusak oleh berbagai macam bid’ah, khurafat, dan tahayul yang dapat mengkikis nilai-nilai Islam itu sendiri.
b)      Majlis Tarjih, suatu lembaga yang menghimpun ulama-ulamak Muhammadiyah dari berbagai disiplin ilmu, yang selalu bermusyawarah dan memberikan fatwa terhadap hal-hal yang acktual ditengah-tengah masyarakat. Seperti tuntunan hidup keluarga sejahtera, dan memberikan tuntunan untuk dipedomani dibidang ubudiyah, mu’amalah dan persoalan yang menyangkut kemasyarakatan lainnya.
c)      Terbentuknya Departemen Agama, tidak terlepas dari kepeloporan Pimpinan Muhammadiyah, dan Menteri Agama Pertama kali dari Kalangan Pimpinan Muhammadiyah Yakni. Prof. Dr. H.M. Rosyidi. Dan sekarang bangsa Indonesia menikmatinya.
2.            Bidang Pendidikan
Salah satu sebab Muhammadiyah didirikan karena lembaga pendidikan di Indonesia sudah tidak memenuhi kebutuhan dan tuntutan zaman, tidak saja isi dan metode pengajarannya yang tidak sesuai, bahkan sitem pendidikannya harus dirombak secara mendasar. Sehingga tidak ada pemisahan antara pelajaran umum dengan pelajaran agama. Dan baru saja tokoh besar Muhammadiyah Prof. Dr. Amin Rais, Tokoh Muhammadiyah yang memberikan sumbangsih besar terhadap lahirnya Undang-undang tentang Guru dan Dosen. Tidak itu saja terdapat ribuan Sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ada diseluruh pelaosok tanah air, sejak dari tingkat TK sampai Perguruan Tinggi.
3.            Bidang Kemasyarakatan
Bidang Kemasyarakatan, sumbangsih dan pengaruhnya cukup besar bagi negara Indonesia yang nota bone mayoritas beragama Islam, yakni dengan banyak berdiri Rumah-rumah sakit modern, lengkap dengan peralatan canggih dan tenaga ahli serta apoteknya. Mendirikan panti asuhan yatim, panti jompo, pondok pesantren, mendirikan perusahaan, percetakan buku, majalah, dll
4.            Bidang Politik Kenegaraan
Muhammadiyah menentang penjajahan, penjajah kolonial belanda, jepang hengkang dari Nagara republik Indonesia, tidak terlepas dari perjuangan Tokoh-tokoh Muhammadiyah, seperti Jenderal Besar Sudirman, Ir. Soekarno (presiden RI pertama) dan masih banyak lagi, dan Muhammadiyah bukan organisasi politik, namun tidak buta politik, ahli-ahli atau tokoh-tokoh politik Muhammadiyah yang menyebar di semua Partai Politik sebatas hanyalah penyampai aspirasi rakyat amar ma’ruf nahi mungkar.


BAB III

                                                                  PENUTUP

Berdasarkan uraian di atas dapat difahami, bahwa tajdid dalam Muhammadiyah mengalami perubahan yang sangat berarti. Pada pase pertama tajdid dalam Muhammadiyah baru pada tataran praktis dan gerakan aksi yang mengarah pada pemurnian akidah dan ibadah, sebagai reaksi terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh umat Islam pada saat itu. Tema sentral tajdid pada pase ini adalah pemurnian. Kemudian pada pase kedua sudah mulai terlihat pentingnya menyelesaikan masalah yang sama sekali baru yang dihadapi umat Islam. Pada pase ini mulai dibahas bahkan dirumuskan tajdid dalam arti modernisasi dan dinamisasi.
Rumusan dan konsep tajdid diarahkan pada upaya untuk merspon perubahan masyarakat yang berkaitan dengan al-umur al-dunyawiyyah. Pada pase ini tidak lagi berkutat pada pemurnian aqidah dan masalah-masalah khilafiyah dalam fikih, tetapi lebih diarahkan pada ijtihad insya’i. Sedangkan pada pase terakhir, tema tajdid dalam Muhammadiyah tidak terbatas pada masalah purifikasi dan dinamisasi, tetapi menuju rekonstruksi dan bahkan dalam batas tertentu melakukan dekonstruksi terhadap ajaran normatif, menuju ajaran islam yang bersifat historis.sama kuatnya dengan kecenderungan liberalis.

Demikian makalah yang kami susun mengenai muhammadiyah sebagai gerakan tajdid, kami menyadari dalam penulisan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan olehnya itu kritik dan saran dari pembaca maupun dosen pembimbing sangat kami butuhkan demi kesempurnaan makalah selanjutnya.






DAFTAR  PUSTAKA

Ahmad Syafi'i Ma'arif, dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995,  hal xi.
Amien Rais,    dalam bukunya Fathurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, Logos Publishing House, Jakarta, 1995,  hal vii. Lebih lanjut dapat dibaca dalam pengantar buku Dinamika Pemikiran Islam dan Muhammadiyah, diterbitkan oleh Pustaka dan Dokumentasi Pimpinan Pusat Muhammadiyah, (editor; Nurhadi M. Musawir), 1996.
Amin Abdullah, Pembaharuan Pemikiran Islam Model Muhammadiyah, Suara Muhammadiyah, No 08/TH, ke 83. April 1998.
Amin Abdullah, (2000), Op Cit, hal. 150.
Kuntowijoyo, (1998), Loc Cit., hal. 268. Ibid,  hal. 289.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Intrepretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1998, hal. 268.
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural, Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000, hal. 147.
Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis), Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam (LPPI), Yogyakarta, 2000, hal.55-58.
Shihab, Alwi, Membendung Arus, Respons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Mizan, Bandung, 1998, hal. 125. Ibid., hal. 126.
Taufik Adnan Amal, Islam dan Tantangan Modernitas; studi atas Pemikiran Hukum Fazlur Rahman, Mizan, Bandung, 1996, hal. 16. Penjelasan lebih lanjut, bisa dibaca dalam kata pengantarnya Jalaluddin Rahmad pada buku tersebut.
Tobroni, dan Syamsul Arifin, Islam Pluralisme Budaya dan Politik,; Refleksi Teologi untuk Aksi Dalam Keberagamaan dan Pendidikan, Sippres, Yogyakarta, 1994, hal. 175.
sya/muhammadiyah.or.id Sumber : Islam Digest , Republika, Ahad, 4 Juli 2010
ed; heri ruslan
Sumber : Dialog Jumat, Republika, Jumat, 2 Juli 2010
http://fkmbbulukumba.blogspot.com/2012/07/makalah-gerakan-tajdid-muhammadiyah.html
https://saharullahhukumumk.wordpress.com/2013/05/22/kemuhammadiyahan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar